Selasa, 16 Oktober 2012

SERIAL SUFI

JALAN HIDUP SALIKIN 
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

(1)
Kedengarannya menakutkan menjalani kehidupan suluk. Akan tetapi, jika seseorang mencoba menjalani pilihan, hidup ini ternyata bisa dan bahkan mengasyikkan. Logika dan pikiran yang sarat pengandaian berganti kecintaan mendalam kepada Tuhan. Tidak gampang menjalani kehidupan suluk (salik). Seorang calon salik terlebih dahulu harus membulatkan tekad untuk “mewakafkan” hidupnya untuk suluk. Namun, menjadi praktisi suluk tidak mesti harus meninggalkan kehidupan dunia dengan segala liku-likunya. Tidak sedikit orang berhasil menjalani kehidupan suluk, tetapi ia juga tetap menjadi dirinya sendiri dan berhasil sebagai pebisnis, pejabat, seniman, serta aktivitas kehidupan duniawi lainnya. Jalan hidup salikin sesungguhnya tidak lain adalah pilihan jalan hidup untuk senantiasa dekat dan sedekat-dekatnya dengan Tuhan. Hidupnya sepenuhnya diserahkan kepada Allah SWT. Apa pun wujud keseharian aktivitas dan perbuatannya, semuanya tertuju untuk menggapai ridha-Nya. Hidupnya penuh kepasrahan dan tawakal serta tidak pernah mengeluh di dalam menjalani segala risiko kehidupan. Dia selalu tersenyum menjalani kehidupan karena diyakini secara haqqul yaqin bahwa keberadaan dan hidup ini semuanya atas kehendak dan pilihan-Nya. Seorang calon salik pertama kali harus menyadari kelemahannya se bagai manusia. Untuk itu, ia harus belajar dan mencari arah-arah yang bisa menuntun dirinya agar tujuannya bisa tercapai dengan baik. Calon salik tidak perlu banyak menggunakan logika dan rasionya di dalam menentukan pilihan sebagai salik, karena itu bisa menghambat atau memperlambat perjalanan panjang yang harus ia lalui.  Ia harus mengondisikan batinnya untuk bersedia menjalani pilihan hidupnya sebagai salik dengan segala konsekuensinya. Ia tidak boleh di tengah jalan menciptakan jalan bercabang hingga membuatnya gagal.

(2)
Ia juga harus memperhitungkan keberlangsungan kehidupan dan keutuhan keluarganya. Bukanlah salik yang benar jika dirinya memperoleh kepuasan hakikat, sementara keluarganya berantakan. Bahkan, jalan hidup seperti itu tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ideal sebagaimana dicontohkan Nabi dan para sahabatnya. Keluarga yang bermasalah bisa menjadi faktor dekonsentrasi di dalam menjalani kehidupan suluk. Pengalaman para salikin di berbagai wilayah memang bermacam-macam. Ada yang lahir dari keturunan berada sehingga soal urusan kehidupan duniawi keluarganya tidak ada masalah. Ada yang memiliki sejumlah properti, seperti lahan dan usaha produktif, sehingga hasilnya bisa menunjang kehidupan diri dan keluarganya. Ada juga yang memang sejak awal merancang hidupnya sebagai salikin sehingga istri dan anak-anaknya secara mental bersedia menanggung risiko kehidupan sebagai warga salik. Kedengarannya menakutkan menjalani kehidupan suluk. Akan tetapi, jika seseorang mencoba menjalani pilihan hidup ini, ternyata bisa dan bahkan mengasyikkan karena yang bisa menghadirkan banyak masalah dalam kehidupan ialah pikiran dan logika yang banyak mendiktekan pengandaian. Akan tetapi, begitu pikiran dan logika dipersempit dan digantikan dengan kecintaan mendalam kepada Tuhan, beban yang tadinya “menggunung” berubah menjadi kapas atau buluh-buluh yang beterbangan, seperti firman Allah, “Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” (QS Al-Qariah [101] :5).

(3)
Masalah hidup sesungguhnya adalah masalah persepsi. Persepsi bisa membuat suatu masalah menjadi lebih berat atau menjadi lebih ringan. Para salikin, karena kepasrahannya secara total kepada Allah, tidak pernah merasakan beban hidup yang berat karena dia yakin bahwa Allah meringankan dan mengangkat seberat apa pun beban kehidupan itu. Sebagaimana firman-Nya, “Dan Kami telah meng hilangkan dari padamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu. Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)-mu”. (QS Al-Insyirah [94]: 2-4). Para salikin merasakan tangan-tangan Tuhan mengangkat masalahnya dengan berbagai cara, antara lain, pertama, masalah dan beban hidup itu nyata adanya, tetapi Allah melapangkan dada ham ba-Nya selebar samudera sehingga masalahnya ibarat sebotol tinta tidak memberikan warna sedikit pun pada air samudera, berbeda dengan segelas air dapat diubah warnanya oleh setetes tinta. Kedua, masalah dan beban hidup itu nyata, tetapi semua orang yang melihat dan mengetahuinya prihatin dan memberi dukungan pada dirinya sehingga tidak ada beban dan rasa malu yang harus diemban. Ketiga, masalah dan beban hidup itu nyata adanya, te api diyakini dan dinikmatinya cara Tuhan untuk membersihkan dosa masa lampaunya. Kelima, wujud masalah dan beban hidup itu dihilangkan oleh Allah SWT. Di kamar Maryam selalu tersedia menu makanan lengkap tanpa diketahui asal muasalnya, Nabi Ibrahim selamat dari bara amukan dan bara api, Nabi Musa dan Nabi Yunus selamat dari kedalaman laut, dan banyak lagi kisah ajaib lainnya dalam Alquran. Orang yang yakin penuh terhadap Tuhan, maka semua makhluk-Nya hakikatnya mencintai dan tidak akan mencederainya. Bahkan, dengan serta-merta mereka akan menolong kekasih Tuhannya. Para salikin berkeyakinan seperti ini. Di dunia ini penuh keajaiban dan keajaiban itu bisa diakses oleh para kekasih Tuhan.

(4)
Salik, Syekh, dan Mursyid
Seorang salik pertama kali harus menemukan, memilih, dan menentukan siapa yang akan menjadi syekh atau mursyidnya. Sang mursyid ini yang akan berperan dominan di dalam menempuh kehidupan sehari-harinya. Menemukan syekh atau mursyid juga tidak gampang. Karena boleh jadi, baik dan cocok bagi orang lain, tetapi kurang pas dengan diri kita. Para salikin (bentuk jamak salik—Red) harus memastikan diri tidak salah memilih pembimbing spiritual, baik seorang syekh maupun asisten syekh (mursyid). Kriteria seorang syekh, menurut Syihabuddin Abi Hafs Umar As-Suhrawardi, ialah tokoh sufistik yang dituakan karena berbagai keutamaannya. Mungkin karena perintis sebuah tarekat atau pelopor ajaran tasawuf, syekh dianggap sebagai ahli waris spiritual Nabi. Ilmu dan makrifatnya sudah mumpuni sehingga dia disegani para penghuni bumi dan langit karena kedekatannya dengan Tuhannya. Jika tidak menemukan syekh, akibat faktor kesulitan lantaran kelangkaannya, cukup dengan mursyid. Mursyid ialah asisten dari syekh. Analoginya seorang profesor di perguruan tinggi biasanya memiliki asisten profesor. Ia sewaktu-waktu diminta oleh syekh atau sudah dibaiat oleh syekhnya untuk mewakilinya dalam berbagai urusan, terutama yang berkaitan dengan urusan organisasi tarekat. Syekh atau mursyid bertugas untuk membersihkan niat dan meluruskan tujuan hidup murid-muridnya yang akan menempuh jalan hidup suluk. Ia juga harus berusaha mengetahui kemampuan murid, mendidiknya secara telaten tanpa pamrih, dan terus dievaluasi sampai akhirnya bisa menjadi salik yang mandiri. Syek atau mursyid dituntut untuk selalu menyesuaikan ucapan dan tindakan, mengamalkan apa yang dikatakan, dan mengajarkan apa yang diketahuinya dengan penuh keikhlasan kepada para murid nya. Syekh dan mursyid juga harus menyayangi orang-orang lemah, baik lemah secara fisik, kecerdasan, maupun ekonomi. Tidak boleh membeda-bedakan murid berdasarkan hal-hal yang bersifat pemberian dari Allah SWT.

(5)
 Syekh dan mursyid selalu harus menyucikan ucapan, perbuatan, dan tindakan agar posisi spiritualnya di mata Tuhan dan posisi sosialnya di mata masyarakat selalu terpelihara. Sebelum membersihkan dan menyucikan orang lain, dirinya terlebih dahulu harus bersih. Ia harus selalu berbicara dengan arif dan bijaksana sehingga mampu menggores kesan di dalam diri para muridnya. Di kancah suluk, seorang syekh dan mursyid di dalam diri mereka tidak boleh mengangkat dirinya lebih tinggi dari para muridnya. Ia juga harus selalu mengingat dan memuliakan Allah sewaktu berbicara dan berkomunikasi dengan para muridnya.
Tidak boleh sedikit pun mengesankan posisi dirinya sebagai syekh atau mursyid, harus lebih tinggi daripada kedudukan muridnya. Para muridnya kemudian menghormatinya itu bagian dari etika dalam dunia suluk.
Hubungan antara salik dan syekh atau mursyid juga ada tradisinya sendiri sebagaimana akan dibahas dalam artikel mendatang. Syekh dan mursyid betul-betul harus amanah memelihara rahasia para muridnya. Para murid diantaranya banyak yang sudah dewasa dan berumur. Mungkin di antara mereka banyak yang telah mengenyam kehidupan dalam dunia hitam lalu insaf, bertobat, kemudian memilih untuk hidup dalam dunia suluk. Keseluruhan rahasia yang mungkin pernah diceritakan kepada nya harus ia rahasiakan. Untuk tujuan apa pun, sebaiknya syekh atau mursyid menutup rapat-ra pat rahasia itu. Ia harus yakin Allah Mahapengampun dan Mahapenyayang sehingga keseluruhan aib hamba-Nya dapat diputihkan. Ia harus gampang memaafkan ke salahan dan kekeliruan para muridnya. Ia tidak boleh bosan dan mengeluh di dalam membimbing para muridnya. Ia harus begitu gampang memaafkan kesalahan para muridnya, sebagaimana Allah juga selalu tampil Mahapemaaf dan Mahapengampun. Kalau perlu, ia mengabaikan haknya sendiri demi keberhasilan para muridnya. Hak-hak murid lebih diutamakan daripada hak dirinya sendiri, persis seperti orang tua dengan anak kandungnya sendiri. Syekh dan mursyid juga harus mampu membagi waktu untuk menyendiri (berkhalwat), mengajar, dan beramal. Ia juga harus terus menambah ilmu, wawasan, dan pengalaman spiritualnya untuk kejayaan spiritual para muridnya. Taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah—Red)) harus menjadi pemandangan sehari-harinya supaya para muridnya bisa meneladaninya. Jadi, tidak gampang menjadi syekh atau mursyid, tetapi syekh dan mursyid di depan para muridnya bagaikan Nabi di depan para sahabatnya.

(6)

Padepokan Sufi (Khanqah).
Kalangan sufi biasanya bersahabat dengan pondok atau padepokan khusus yang biasa disebut khanqah. Padepokan sufi ini sengaja dibangun oleh pemimpin tarekat atau syekhnya guna memberikan pelayanan khusus kepada para mursyid atau murid yang sudah berada di tingkat yang lebih tinggi. Selama berada di dalam khanqah, mereka terikat oleh ketentuan dan kebiasaan khusus yang sifatnya pendisiplinan diri. Mereka tidak boleh berperasaan sombong, angkuh, manja, banyak bertanya, banyak protes, banyak berbicara dunia, dan banyak berpikir logika. Mereka berusaha berada di dalam kepasrahan total kepada Allah SWT. Kondisi seperti ini menirukan tradisi pembinaan yang dilakukan oleh Khidhir terhadap Nabi Musa yang dilarang mengaktifkan pikiran dan logika selama dalam proses pembelajaran. Di dalam khanqah ini para mursyid dan murid khusus aktif melakukan olah spiritual atau riyadhah (spiritual exercise). Biasanya mereka terus-menerus melaksanakan shalat dan diselang-selingi dengan tadarus Alquran dan wirid. Kadang dilakukan berjamaah. Terkadang pula ditempuh sendirian. Bagi para pemula biasanya mengikuti ketentuan khusus yang ditetapkan oleh syekh pemimpin khanqah. Ada sejumlah khanqah yang menerapkan ujian sebelum masuk menjadi jamaah atau penghuni khanqah. Jika dalam kondisi spiritualnya sulit atau tidak berbakat menjadi ahlul khalwah (pengasingan diri) maka ia dianjurkan untuk menjadi ahlul khidmah. Selama menjadi penghuni khanqah, para peserta biasanya dianjurkan mengonsumsi menu makanan yang terukur, misal nya, dianjurkan tidak makan daging, seperti dialog antara Rabiah Al-Adawiyah dan Hasan Al-Basri yang memunculkan sebuah ungkapan: “Jangan menjadikan perutnya sebagai kuburan”.  Para sufi dan resi dalam Hindu selama menjalani praktik meditasi tidak mengonsumsi daging. Makanan popular ahlul khanqah ialah Garmat.

(7)
Wawancara khusus.
Pengikut tarekat Jalaluddin Rumi di Konya, syekh melakukan wawancara khusus dengan calon penghuni khanqah. Jika di depan pondoknya sandal calon peserta diletakkan menghadap ke dalam berarti si calon penghuni dinyatakan lulus. Akan tetapi, jika sandalnya diletakkan menghadap ke luar pertanda calon peserta belum bisa menjadi penghuni khanqah (Ahlul khalwah). Ia masih diajurkan untuk melakukan riyadhah dasar, seperti mandi tobat yang dilanjutkan shalat sunat tobat, menjalani puasa-puasa sunah Senin dan Kamis serta mengamalkan wirid-wirid rutin hingga ia dinyatakan bisa diterima. Di dalam padepokan mereka melakukan latihan wirid gerak yang lebih dikenal dengan tari sufi (whirling Darwishes). Dalam tahap tertentu, manakala seorang murid terjatuh karena pusing maka ia harus menjalani beberapa ketentuan, di antaranya diajurkan menyembelih seekor kambing. Beberapa kelompok tarekat berusaha mencari tempat untuk sewaktu-waktu memperbaiki kembali (recharge) energi dan kualitas batinnya yang mengalami pelemahan akibat pengaruh daya tarik godaan dunia. Para mursyid atau murid khusus bisa merasakan di dalam dirinya kapan dan berapa lama ia harus berada di khanqah. Kadang ia berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan, hingga ada yang memilih hidup menjadi pelayan khanqah. Orang yang memilih jalan hidupnya seperti ini disebut ahlul khidmah.
Tugasnya memberikan pelayanan terhadap orang-orang dan para tamu yang datang secara khusus guna membersihkan diri di khanqah. Tamu yang secara khusus datang untuk berkontemplasi biasanya disebut ahlul khalwah. Jika ada orang yang dikuasai oleh hawa nafsu, kondisi batinnya yang sedang guncang, menerima musibah berat, berharap dengan sebuah hajat ideal yang sulit dicapai, ingin mendalami kekuatan batin, dan berbagai kecenderungan pembersihan batin lainnya maka disarankan menjadi penghuni khanqah. Apakah nantinya akan menjadi ahlul khidmah, ahlul khalwah, atau ahlus shuhbah, dilihat perkembangan dan kemungkinannya oleh pemimpin khanqah.

(8)
Persaudaraan
Para alumni khanqah memiliki rasa persaudaraan yang amat mendalam. Mereka menjadi seperti saudara spiritual yang saling merindukan satu sama lain. Dari sinilah lahir istilah persahabatan spiritual (al-shuhbah) seperti yang dijanjikan salah satu dari tujuh kelompok yang dijanjikan masuk ke dalam vila peristirahatan di bawah Arasy di Padang Makhsyar. Suatu tempat yang sangat nyaman, seperti dinyatakan dalam hadis shahih, sementara manusia lain di Padang Makhsyar ada yang berenang di atas keringatnya selama ribuan tahun. Tradisi mendiami sebuah tempat khusus untuk berkontemplasi sudah lama dikenal umat manusia. Pondok khanqah bisa dianalogikan dengan gua-gua di pegunungan, tempat di mana para nabi dan wali Allah mendapatkan wahyu, ilham, dan keajaiban lainnya. Alquran meng abadikan Gua Kahfi yang pernah dihuni tujuh wali bersama anjingnya yang tidur selama 309 tahun. Gua Hira yang bertahun-tahun digunakan Nabi Muhammad untuk berkhalwat yang pada akhirnya menerima wahyu pertama di sana. Gua tempat Nabi Ibrahim menyimpulkan bahwa bintang-bintang, bulan, dan matahari, pasti bukanlah Tuhan karena mereka timbul-tenggelam. Mihrab Maryam dan Zawiyah Ali Imran jelas mengisyaratkan adanya tempat yang spesifik untuk menjalani praktik riyadhah sangat penting. Tempat itu biasanya terpelihara kebersihan dan kesuciannya, karena ia merupakan lokus spiritual untuk taqarrub ilallah.

(9)

MUSA DAN KHIDIR

Ketika Nabi Musa diperintah oleh Tuhannya mencari ilmu tingkat tinggi, ia dikenalkan dengan seseorang guru (mursyid) yang akan menuntunnya. Sang guru ternyata tidak mengajarinya di sebuah padepokan tertutup dan permanen, tetapi diajaknya berjalan melintas batas laut, darat, gunung, sungai, dan etnik. Perjalanan Musa bersama mursyidnya, Khidhir, oleh kalangan salikin dijadikan dasar untuk melegitimasi kesenangannya melakukan perjalanan yang bersifat rohani (spiritual journey/safar). Simaklah kisah singkat perjalanan spiritual Musa dan gurunya sebagai berikut.  “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun."  “Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya, "Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini." “Muridnya menjawab, "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.” “Musa berkata, "Itulah (tempat) yang kita cari." Lalu, keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Kemudian, mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” “Musa berkata kepada Khidhir, "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan, bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"  “Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun."  “Dia berkata, "Jika kamu mengikutiku, janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu." (QS Al-Kahfi [18]: 60-70).

Menarik untuk diperhatikan, dalam perjalanan pertama, di situ Musa memosisikan diri sebagai guru terhadap seorang muridnya hingga keduanya sampai ke sebuah tempat yang dilukiskan sebagai “pertemuan dua laut” (majma' al-bahrain).  Musa pun melanjutkan perjalanannya sebagai seorang murid dari seorang guru khusus untuknya, yaitu Khidhir.  Meskipun sudah lama menjadi guru, tetapi kembali harus belajar dari seorang guru dengan metode yang amat kontroversial. Pada akhirnya, Musa sampai pada suasana batin, yang dia harus disadarkan bahwa ternyata di atas langit masih banyak langit. Seseorang tidak boleh sombong dengan sehebat apa pun ilmu yang diperolehnya. Lima ayat pertama di atas, menggambarkan Musa melakukan pengembaraan sebagai seorang guru ditemani dengan seorang muridnya. Lima ayat berikutnya menggambarkan Musa melakukan pengembaraan sebagai seorang murid mengikuti guru atau mursyidnya.
Ketika Musa menjadi seorang guru terhadap muridnya tampaknya ilmu-ilmu fisik biologis. Ini terungkap dengan adanya perbekalan makanan, kelaparan, dan mencari lauk berupa ikan. Sedangkan dalam kapasitasnya sebagai seorang murid tampaknya ia ngin belajar tentang ilmu-ilmu makrifat. Ini diketahui melalui peristiwa-peristiwa nonlogis yang dijumpai di sepanjang perjalanannya, seperti larangan bertanya, persyaratan sabar, banyaknya ujian, dan tantangan logika. Puncak kearifan Musa diperoleh sepanjang perjalanannya. Baik ketika ia mengajak muridnya melakukan safar, maupun ketika diajak gurunya melakukan hal yang sama. Perjalanan di level awal, kelihatan Musa masih terpengaruh oleh simbol-simbol fisik biologis.
Kisah Musa dan Khidhir ini masih menyimpan rahasia yang amat besar dan terus menarik untuk didalami.

Perjalanan spiritual Musa yang kemudian berjumpa dengan Khidhir, bagian dari isyarat perlunya seseorang melakukan pengembaraan untuk meningkatkan pengetahuan dan makrifat kepada Allah SWT. Bukan saja terhadap Musa melainkan siapa pun yang ingin memperoleh kemuliaan dan keutamaan dari-Nya Sebagaimana diisyaratkan ayat berikut. “Dialah Tuhan yang menjadikan Kamu dapat berjalan di daratan dan di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya.” “Datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata), "Sesungguhnya yang bersyukur." (QS Yunus [10]:22). Seseorang yang hendak melakukan pengembaraan (safar) pertama kali ia harus mengukuhkan niat untuk melakukan sesuatu yang mulia. Sasaran safar bisa dimotivasi dengan mendalami ilmu syekh atau mursyid, memunculkan tekad yang kuat untuk meninggalkan segala bentuk kemudahan hidup di rumahnya menuju sebuah tempat yang betul-betul dituntut kemandirian.  Safar biasanya dilakukan berkelompok sehingga di sepanjang jalan mereka bisa melatih diri menemukan sahabat spiritual (al-shuhbah), seperti dijanjikan dalam hadis, salah satu dari tujuh kelompok penghuni peristirahatan di bawah Arasy, ialah seseorang yang menjalin persaudaraan spiritual secara permanen semata-mata karena memohon ridha Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar